Tentang Ini Itu

I discuss, therefore I am

Tentang Ini Itu adalah sebuah wadah untuk membahas berbagai topik yang merisaukan pikiran saya. Tentang Ini Itu adalah sebuah saluran bagi saya untuk mencurahkan kebingungan, kemarahan, kesedihan, rasa frustrasi, dan harapan saya atas politik dan masyarakat. Kunjungi juga podcast Tentang Ini Itu untuk topik lainnya yang tidak sempat saya tuliskan di situs ini.

Salam,

Yoes C. Kenawas

Tentang Hubungan Sebab-Akibat

Ilmu yang saya pelajari di Departemen Ilmu Politik Northwestern University menekankan pentingnya hubungan sebab-akibat, yang juga populer dengan jargon hubungan kausal (causal relation). Secara sederhana, hubungan sebab-akibat adalah sebuah pernyataan yang mengenai (setidaknya) dua peristiwa, dimana adanya peristiwa A (sebab) menyebabkan terjadinya peristiwa B (akibat).

Penjelasan singkat di atas nampaknya sederhana: adanya A menyebabkan terjadinya B. Nyatanya, hubungan sebab-akibat tidak sesederhana itu. B bisa saja terjadi karena penyebab lain selain A. Hanya saja, kadang yang nampak terlihat jelas memang seperti ada hubungan yang saling terkait satu sama lain antara A dan B.

Contohnya, saya tertarik untuk mengetahui alasan turunnya hujan di Jakarta. Sebelumnya saya mengamati bahwa setiap kali saya melemparkan celana dalam ke atas atap rumah, maka hari itu hujan turun. Saya ingin membuktikan hipotesis ini dan akhirnya saya putuskan untuk melemparkan celana dalam saya ke atas atap rumah setiap hari dari bulan November hingga Januari. Hasil pengamatan saya mengkonfirmasi hipotesis saya: setiap saya lemparkan celana dalam saya ke atap rumah, maka kemungkinan besar hujan akan turun. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, maka saya berkesimpulan ada hubungan sebab-akibat antara pelemparan celana dalam saya ke atap dan turunnya hujan.

Tentu saja kesimpulan tersebut sangat tidak tepat karena kita tahu bahwa hujan turun manakala kandungan uap air di awan sudah terlalu berat/padat dan pada titik tertentu tak tertampung lagi dalam gumpalan awan. Setidaknya begitu cerita singkatnya, bukan karena saya melemparkan kolor ke atas atap rumah.

Jika demikian, mengapa setiap saya lemparkan celana dalam saya ke atap maka hujan kemudian turun? Ingat, saya melakukan percobaan tersebut antar bulan Oktober hingga Januari. Jika ilmu yang saya pelajari di SD masih belum berubah, bulan Oktober hingga November hingga April adalah masa-masa dimana Angin Muson Barat berhembus dan menandakan musim hujan untuk banyak daerah di Asia, khususnya Asia Tenggara, termasuk Jakarta. Maka, tak heran apabila hampir setiap kali saya melemparkan celana dalam pada bulan-bulan tersebut, maka hujan akan turun. Namun, turunnya dan frekuensi hujan yang turun bukan disebabkan karena saya seringnya saya melemparkan kolor ke atap rumah.

Salah satu kalimat bijaksana dalam ilmu statistik (bahkan sains secara umum) adalah correlation does not imply causation, dua hal/peristiwa yang nampaknya saling berhubungan, belum tentu memiliki hubungan sebab-akibat. Ilustrasi pelemparan kolor saya di atas adalah salah satu contohnya. Contoh lain adalah pertanyaan mengenai mana yang lebih dulu, telur atau ayam? Masih banyak lagi contoh pertanyaan dan pernyataan mengenai hubungan sebab-akibat. Pembuktian mengenai hubungan sebab-akibat ini memerlukan penelitian yang mendalam dan seringkali melibatkan metodologi penelitian yang cukup rumit dan penuh dengan jargon. Ini adalah masalah tersendiri. Namun, sebelum kita menyentuh masuk ke soal metodologi penelitian, ada satu hal yang paling mendasar untuk memeriksa "kebenaran" sebuah klaim sebab-akibat, yakni adanya daya pikir kritis.

Sayangnya, banyak dari kita yang nampaknya belum memiliki daya pikir kritis untuk memeriksa "kebenaran" sebuah pernyataan hubunga sebab-akibat. Padahal, banyak pernyataan yang berseliweran di luar sana yang perlu dikritisi secara mendalam. Jika tidak dikritisi, maka mudah saja bagi para pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk menggiring opini publik.

Simak saja pernyataan mengenai hubungan antara kebahagiaan-daya imun tubuh-dan resiko tertular COVID-19, atau daya tarik investasi dan Omnibus Law, atau daerah yang menyelenggarakan pilkada dan naik-turunnya tingkat penyebaran COVID-19, atau antara otoritarianisme dan kesuksesan menangani COVID-19. Seluruh pernyataan tersebut, baik tersurat maupun tersirat, menyatakan adanya hubungan sebab-akibat. Padahal, ada berbagai faktor (variabel) lain yang belum diperhatikan. Urut-urutan (sequencing) antara sebuah penyebab hingga terjadinya sebuah akibat yang ditimbulkan juga diabaikan. Saya sendiri tidak begitu peduli apakah abainya pejabat yang mengeluarkan berbagai penyataan tersebut disengaja atau memang karena kebodohan atau ketidaktahuan semata. Saya lebih peduli pada akibat yang ditimbulkan dari berbagai pernyataan tersebut.

Misalnya, pernyataan mengenai Jakarta yang tidak menyelenggarakan pilkada ternyata memiliki tingkat penderita COVID-19 yang jauh lebih tinggi dari daerah yang menyelenggarakan pilkada, bisa berujung pada meledaknya klaster pilkada di luar Jakarta. Pernyataan tersebut nampaknya ingin dijadikan sebuah justifikasi untuk melanjutkan proses pilkada yang sejatinya sangat problematis diselenggarakan pada situasi pandemi ini. Kita bisa memeriksa apakah kesimpulan mengenai hubungan sebab-akibat tersebut sudah tepat dengan mengajukan beberapa pertanyaan, seperti: Apa penyebab tingginya angka penderita COVID-19 di Jakarta dibandingkan daerah lain? Apakah jumlah pemeriksaan di daerah lain sebanyak Jakarta? Bagaimana dengan perbandingan antara daerah yang menyelenggarakan pilkada vs. daerah yang tidak menyelenggarakan pilkada dengan mengecualikan Jakarta?

Berbagai pertanyaan tersebut penting untuk ditanyakan dan diteliti validitas klaimnya dengan menggunakan bukti empirik. Permasalahannya memang kecepatan mengeluarkan pernyataan sangat tidak sebanding dengan kecepatan penelitian. Oleh karena itu, sebelum adanya penelitian dan bukti empirik, pernyataan-pernyataan tersebut harus ditanggapi secara kritis dan hati-hati.

Saya pikir, hanya dengan daya pikir kritis-lah kita bisa terhindar dari sesat pikir klaim hubungan sebab-akibat yang semu.